Senin, 28 Oktober 2019


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cidera kepala berat merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalulintas.(Mansjoer, 2002)
Di Indonesia jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Direktorat Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan (2005), jumlah korban kecelakaan lalu lintas pada tahun 2003 terdapat 24.692 orang dengan jumlah kematian 9.865 orang (39,9%), tahun 2004 terdapat 32.271 orang dengan jumlah kematian 11.204 orang (34,7%), dan pada tahun 2005 menjadi 33.827 kasus dengan jumlah kematian 11.610 orang (34,4%). Dari data tahun 2005 di atas, didapatkan bahwa setiap harinya terdapat 31 orang yang meninggal atau dengan kata lain setiap 45 menit terdapat 1 orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
Direktorat Lalu Lintas Kepolisisan Daerah Jawa Tengah mencatat angka kejadian kecelakaan di Jawa Tengah pada bulan november 2010 mencapai 4.438 degan kasus meninggal di tempat kejadian sebanyak 603 orang (13,6%) (ANTARA news, 2010). Muchus menuturkan kepolisian mencatat angka kriminalitas dan kecelakaan lalu lintas masih cukup tinggi di Wilayah Surakarta. Bahkan pada tahun 2007 lalu, kecelakaan lalulintas di Polwil Surakarta menduduki peringkat tertinggi dibanding lima Polwil lainnya di Jawa Tengah, pada tahun 2008 angka tersebut cenderung naik
Kejadian cidera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan sebanyak 296.678 orang (59,3%) , cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang (20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%). Dari sejumlah kasus tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit. (Haddad, 2012)
Dari berbagai refrensi diatas, kecelakaan lalulintas merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khusunya di negara berkembang.Menurut World Health Orhanization (WHO) pada tahun 2002 kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia , sekitar 1,2 juta jiwa meninggal setiap tahunnya. Angka kematian semakin meningkat dari tahun ke tahun akibat dari cidera kepala yang mendapat penanganan yang kurang tepat atau tidak sesuai dengan harapan kita (Smeltzer, 2002)



Akibat trauma pasien mengalami perubahan fisik maupun psikologis. Akibat yang sering terjadi pada pasien CKB antara lain terjadi cedera otak sekunder, edema cerebral ,peningkatan tekanan intrakranial, vasospasme, hidrosefalus, gangguan metabolik, infeksi dan kejang (Haddad, 2012) . Oleh karena itu, diharapkan penanganan yang cepat dan akurat agar dapat menekan morbidibitas dan mortilitas kematian maupun terlambatnya rujukan yang menyebabkan kondisi pasien semakin memburuk (National Institute of Neurological Disorder, 2002)

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Agar penulis mampu memberikan asuhan keperawatan pada pasien Ny. C dengan cedera kepala berat, dengan menggunakan pendekatan manajemen keperawatan secara benar, tepat dan sesuai dengan standar keperawatan secara profesional.
2. Tujuan khusus
a.       Penulis dapat mengetahui Definisi CKB.
b.      mengetahui Prinsip Peran perawat paliatif Care
c.       Mengetahui kesenjangan antara teori dan praktek di lapangan.

BAB II

LANDASAN TEORI
A.      DEFINISI

            Cedera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi. ( Sylvia Anderson Price, 1985 ).
            Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak,dan otak. ( Morton, 2012 ).
            Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. ( Muttaqin, 2008 ).
            Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik, sert aedema cerebral disekitar jaringan otak. ( Batticaca, 2008 ).

B.       MANIFESTASI KLINIS

            Pada pemeriksaan klinis biasa yang dipakai untuk menentukan cedera kepala menggunakan pemeriksaan GCS yang memiliki nilai GCS 3 – 8.
Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukan adanya fraktur. (Smeltzer, .Suzana, 2012)
1.      Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
2.      Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung
3.      Laserasi atau kontusio otak ditunjukan oleh cairan spinal berdarah
Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi antara lain :
1.      Komosio Serebri


Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi otak sesaat atau amnesia pasca cedera kepala.
1.      Kontusio Serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak ( pingsan > 10 menit ) atau terdapat lesi neurologik yang jelas.
2.      Laserasi Serebri
Kerusakan otak luas disertai robekan duramater serta fraktur terbuka pada kranium.
3.      Epidural Hematom ( EDH )
Hematom antara duramater dan tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya arteri meningea media.
4.      Subdural Hematom ( SDH )
Hematom dibawah lapisan deng n sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara duramater da jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik
5.      Subarachnoid Hematom ( SAH )
Merupakan perdarahan fokal di daerah subarachnoid.
6.      Intracerebral Hematom ( ICH )
Perdarahan intracerebral adalah peradarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
7.      Fraktur Basis Kranii
Fraktur dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal, oksipital, sphenoid dan etmoid. Terbagi atas fraktur basis kranii antrior dan posterior.


C.      ETIOLOGI
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, coup-countre coup, dan cedera rotasional.
1.      Cedera Akselerasi
Terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang tidak bergerak ( misal, peluru yang ditembakan ke kepala ).
2.      Cedera Deselerasi
Terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek diam, seperti kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepal membentur kaca depan mobil.
3.      Cedera Akselerasi-Deselerasi
Sering terjadi dalam kasus kecelakaan kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
4.      Cedera Coup-Counter coup
Terjadi jika kepala terbentur yang menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawana serta area kepala yang pertama kali terbentur.
5.      Cedera Rotasional
Terjadi jika pukulan / benturan menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.

D.       PEMERIKSAAN PENUNJANG

1.      Foto polos tengkorak ( skull X-Ray )
2.      Angiografi cerebral
3.      Pemeriksaan MRI
CT Scan : Indikasi CT Scan nyeri kepala atau muntah-muntah, penurunan GCS lebih 1  point, adanya laterasi, bradikardi ( nadi < 60 x/menit ), faktur 

1.      impresi dengan laterasi yang tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan luka tembus akibat benda tajam atau peluru.

Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah,perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat,perubahan permeabilitas faskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.  Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus. Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.
            Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. ( Price And Wilson.2006).
E.    Peran Perawat Paliatif Kepada Pasien Cidera Kepa Berat (CKB)
Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah, dan menghilangkan penderitaan. Phylosophy Perawatan Paliatif pada pasien CKB Meyakini bahwa setiap orang mempunyai hak diobati, meninggal secara bermartabat, mengurangi rasa nyeri dan pemenuhan kebutuhan bio-psiko-sosio dan spiritual
F.    Tujuan dari Perawatan Palliative

Untuk memberikan dukungan dan perhatian yang membuat hidup pasien menyenangkan selama masa sakit, sehingga mereka bisa menikmati betul sisa hidup mereka. Prinsip-prinsip penting yang harus diperhatikan :
1 .     Gejala yang ditimbulkan
2.  Dukungan moril
      3 Kerjasama dari lingkung
      4. Saran-saran yang harus dipertimbang
      5. Memberikan harapan untuk mencapai tujuan yang realistis

G.     Memulai dan mengatur Perawatan Palliative
Keputusan untuk menghentikan pengobatan berdasarkan dua sebab :
1. Penyakit pasien semakin lama semakin memburuk dan tingkat kekebalan tubuhnya sudah hilang.
2. Semua kemungkinan untuk menganalisa dan mengetahui kondisi pasien dan usaha-usaha pengobatan telah dilakukan tetapi kondisi pasien terus memburuk.
H. Peran Perawat dalam Perawatan Paliatif
1.      Dapat menerapkan pengetahuan dan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan.
2.      Menetapkan prioritas asuhan keperawatan, mengelola waktu secara efektif dan saran-saran untuk  meningkatkan kualitas hidup
3.      Sebagai nara sumber / konselor bagi pasien, keluarga dan komunitas dalam menghadapi perubahan kesehatan, ketidakmampuan dan kematian.
1.      Sebagai komunikator yang terapeutik dan pendengar yang baik dalam memberikan dukungan dan perhatian.
2.      Membantu pasien tetap independen sesuai kemampuan mereka sehingga kenyamanan terpenuhi, serta meningkatkan mutu hidup
I.        Langkah-langkah Perawatan Palliative
1.      Membentuk team untuk menghadapi beragam pasien dan masalah-masalah keluarga.
2.      Tujuan dari team ini adalah mengobati, merawat, memberikan penyuluhan sosial dan pelayanan lainnya dan bekerja sama dengan Departemen Kesehatan, Swasta(LSM), relawan, dll.
3.      Perubahan dari pengobatan aktif ke pengobatan Palliative tidak terjadi dalam waktu yang singkat.
4.      Perawatan Palliative sangat berhasil ketika masih pada fase dini, mendapat dukungan dari lingkungannya yaitu keluarga dan adanya team yang membangkitkan kesadarannya.
J.       Gejala-gejala
gejala  yang ditimbulkan
  1.   Rasa sakit / PainLemas/Fatique/weakness
  2.  Sesak nafas/dyspnea
  3.  Buang air terus menerus/presisten diarrhea
  4.  Susah tidur/insomnia
  5. Rasa mual/Nausea dan vomiting

K.       Peran Spiritual Dalam Paliative Care 
Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis dalam agama dan keyakinan
spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan dalam penyakit fisik yang serius. Profesional
kesehatan yang memberikan perawatan medis menyadari pentingnya memenuhi 'kebutuhan
spiritual dan keagamaan' pasien(Woodruff,2004)
Sebuah pendekatan kasih sayang akan meningkatkan kemungkinan 
pemulihan atau perbaikan. Dalam contoh terburuk, ia menawarkan kenyamanan dan persiapan
untuk individu melalui proses traumatis penyakit terakhir sebelum kematian (Doyle, Hanks
and Macdonald, 2003 :101). Studi pasien dengan penyakit kronis atau terminal telah
menunjukkan kejadian insiden tinggi depresi dan gangguan mental lainnya. Dimensi lain
menunjukkan bahwa tingkat depresi sebanding dengan tingkat keparahan penyakit dan
hilangnya
fungsi tambahan. Sumber depresi adalah sekitar isu yang berkaitan dengan spiritualitas dan
agama. Pasien di bawah perawatan palliative dan dalam keadaan seperti itu sering mempunyai
keprihatinan rohani yang berkaitan dengan kondisi mereka dan mendekati kematian (Ferrell &
Coyle, 2007: 848).
Spiritual dan keprihatinan keagamaan dengan pasien biasanya bersinggungan dengan isu
sehari-hari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan orang tua dan mereka yang
menghadapi kematian yang akan datang. Kekhawatiran semacam itu telah diamati, bahkan
pada pasien yang telah dirawat di rumah sakit dengan penyakit serius non-terminal (Ferrell
&Coyle, 2007: 52). Studi lain telah menunjukkan bahwa persentase yang tinggi dari pasien di
atas usia 60 tahun menemukan hiburan dalam ketekunan bergama yang memberi mereka
kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi kehidupan, sampai batas tertentu. Kekhawatiran di
saat sakit parah mengasumsikan berbagai bentuk seperti hubungan seseorang dengan Allah,
takut akan neraka dan perasaan ditinggalkan oleh komunitas keagamaan mereka. Sering
menghormati dan memvalidasi individu pada dorongan agama dan keyakinan adalah setengah
perjuangan ke arah menyiapkan mereka pada sebuah kematian yang baik (Ferrell & Coyle,
2007: 1171 8).

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragik, sert aedema cerebral disekitar jaringan otak.
gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
B.     Saran
1.      Instalasi pelayanan kesehatan
 diharapkan mampu meningkatkan kinerja perawat dan tenaga medis yang lain sehingga mampu meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien dengan CKB.
2.      Tenaga kesehatan
 khususnya perawat Paliatif diharapkan untuk melanjutkan asuhan keperawatan yang sudah dikelola oleh penulis yang bertujuan untuk pemulihan kesehatan pasien dan dalam perawatan Cidera Kepala Berat (CKB) disesuaikan dengan kebutuhan pasien hanya sebagai rutinitas sehari – hari.

DAFTAR PUSTAKA
Morton, Gallo, Hudak, 2012.Keperawatan Kritis volume 1 dan 2 edisi 8. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzana C, 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. brunner & Suddart edisi 8 volume 1, 2, 3. Jakarta : EGC.

Dr. W. Herdin Sibuea dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Rineka Cipta.

Mansjoer, Arif (2002) . Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculspius

Dephub.2005.kejadian kecelakaan laulintas di Indonesia.diakses tanggal 28 oktober 2019

Antara news.2010.kejadian kecelakaan di jawatengah.diakses tanggal 28 oktober 2019

Samir H haddad dan Yaseen M Arabi. Critical Care Management Of Severe    Traumatic Brain Injury in Adults.Journal Of Trauma Resuscitation and Emergency Medicine. 2012. Http://www.sjtrem.com/content/20/1/12

Shawn G Rhind, Natomi, Andrew J Baker, Laurie J Mamisan dkk.Prehospital Resuscitation With Hypertonic Saline-Dextran modula tes Inflamatory, Coagulation and endothelial Activation Maker Profile in Severe Traumatic Brain Injured Patients. Journal of Neuroinflammation.2010.http://www.jneuroinflam mation.com/content/7/1/5

Detik.2008. angka tertinggi terjadinya kecelakaan di surakarta. Diakses tanggal 28 oktober 2019.www.detik.com